SELAMAT DATANG DI BLOG SEDERHANA INI... SEMOGA BERMANFAAT
Home » » Makalah Tentang Qona'ah

Makalah Tentang Qona'ah

Posted by Maz Kholiz on 15 Desember 2011

KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
    Segala Puji bagi ALLAH, Tuhan Semesta Alam yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya dan Karunia-Nya, Shalawat serta Salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W., keluarganya, para sahabat, dan seluruh umatnya. Kami bersyukur kepada Illahi Rabbi yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga Makalah tentang: “QANA’AH”dapat terselesaikan.
    Materi dalam Makalah ini disusun berdasarkan Studi Pustaka dan Referensi-referensi yang sesuai dengan tujuan, agar pada umumnya dapat lebih memahami tentang QANA’AH
    Kami menyadari, bahwa dalam Makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu kepada para pembaca khususnya, kami mengharapkan Saran dan Kritik demi kesempurnaanMakalahini.
    Semoga Makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya.Amin.



Pamekasan,Oktober2010


Penulis











DAFTAR ISI
Qana’ah (rela dan menerima pemberian Allah subhanahu wata’ala apa adanya) adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta.
Banyak orang yang salah dalam memahami dan mendudukkan hubungan antara qana’ah dan ikhtiyar. Oleh karena itu diperlukan adanya penjelasan yang memuaskan tentang pemahaman dan hubungan dua hal tersebut dengan mengaitkannya dengan taujihat qur’aniyyah dan haditsiyyah, perlu dijelaskan pula faktor yang menyebabkan seseorang bisa bersikap qana’ah.
Makalah ini membahas pengertian qana’ah dan ikhtiyar serta hubungan keduanya, ayat qur’an dan hadits yang berhubungan, serta kiat-kiat untuk menjadi qana’ah.
Pengertian qana’ah dan ikhtiyar serta hubungan keduanya
Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak.
Abdullah bin Amru r.a. berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya”. (H.R.Muslim)
Orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.
“Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya“. (Q.S. Huud: 6)
Setiap orang menginginkan ketentraman hidup. Ketentraman hidup hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia sekecil dan sebesar apa pun yang dimilikinya. Qana’ah dan syukur adalah dua sikap yang tak mungkin dipisah. Orang yang qana’ah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia akan berusaha membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah tidak berarti fatalis dan menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang hidup qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qana’ah menyikapinya sebagai ibadah yang mulia di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, dan mengurangi timbangan. Ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun, ia tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, akhir rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi tiga hal: menjadi kotoran, barang usang atau bernilai pahala di hadapan Allah. Karenanya, ia pun lebih mementingkan seruan Rabbnya.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kamu sekalian untuk melakukan shalat di Hari Jumuah, bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu sekalian mengetahuinya,” (QS al-Jumu’ah: 9).
Namun, jika sampai pada keadaan demikian, ia tidak lantas terbius pada kenikmatan berkhalwat dengan Allah seraya melupakan dunia. Ia menyadari, masih ada aturan Allah yang mewajibkannya untuk beraktivitas kembali. Allah berfirman.
“Dan apabila telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu sekalian beruntung,” (QS al-Jumu’ah: 10).
Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qana’ah ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk ia nikmati sendiri, namun benar-benar didasarkan pada ibadah. Orang-orang qana’ah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, Allah lebih mencintai Mukmin yang kuat dibanding Mukmin yang lemah.
Kekayaan dunia yang ia cari, bukan dijadikan sarana memyombongkan diri. Tapi, dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak jatuh pada jurang kefakiran. Hartanya ia gunakan untuk menyantuni orang lain dan agar tidak membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat, kefakiran dapat mendekatkan diri pada kekufuran.
Niat orang-orang qana’ah ketika mencari harta juga didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmu ia dan keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah.
Di tengah ancaman badai musibah yang kini terus mendera, sungguh sikap qana’ah dan syukur amat penting. Orang yang mampu bersikap qana’ah akan meletakkan harta dan dunia di tangan, bukan di hati. Ia akan berprinsip bahwa kekayaannya semata titipan Allah. Jika suatu saat diambil, ia takkan merasa rugi. Toh, semua yang dimilikinya adalah titipan. Prinsip inilah yang mampu membuat jiwa tentram dan nyaman meski gelombang petaka datang menerpa.
Qana’ah dalam kehidupan
Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan. Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial.
Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW: ”Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati”. ( H.R.Bukhari dan Muslim)
Karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah. Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini.
Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : ”Saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah memberikan haknya yang diberikan Alah padanya”. (H.R.Bukhari dan Muslim )
Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.
“Qana’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap”. (H.R.Thabrani)
Kiat-kiat menjadi qana’ah
Meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Berikut ini beberapa kiat menuju qana’ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikan nya. Di antaranya yaitu:
1. Memperkuat Keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah subhanahu wata’ala, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu. Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.
2. Yaqin bahwa Rizki Telah Tertulis.
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antaranya, “Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.
3. Memikirkan Ayat-ayat al-Qur’an yang Agung.
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, (yaitu):
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathiir:2)
“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (QS.Yunus:107)
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud:6)

“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. ath-Thalaq:7)
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah Allah subhanahu wata’ala menentu kan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberi kan pelayanan dan jasa.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. az-Zukhruf:32)
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS.Al an’am 165)
5. Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah subhanahu wata’ala agar diberikan qana’ah, beliau bedoa,
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi)
Dan karena saking qana’ahnya, beliau tidak meminta kepada Allah subhanahu wata’ala kecuali sekedar cukup untuk kehidu pan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau, “Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmidzi)
6. Menyadari bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti. Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?
8. Membaca Kehidupan Salaf
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.
9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemilik nya jika dia tidak mendapatkan nya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tantang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.
10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kami pun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedang kita terbebas darinya.”


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukkan komentar anda disini, tapi saya sangat tidak menerima Komentar Spam, tunjukkan bahwa anda ber-etika...!!!